Laman

Sabtu, 17 April 2010

Perjalananku


Jejari ini
lelah mencengkeram duri
Luka telah bernanah sudah

Tebing hayal
campakkanku
di belukar pilu
terbaringku lusuh
melepuh luruh senja

Salib aku
di persimpangan waktu
Tumbang sudah
Bimbang yang tersisa




Penghujan rindu, kapankah bertandang?
Basahi wajahku yang telah layu gersang

Kemarilah,
menari bersama bebasah kenangan
Basuhlah,
debu masa yang mengendap lara
Bukankah gumpalan awan telah menguntai pesan?
Tentang sebuah harap yang tak pernah terucapkan

Penghujan rindu, kapankah bertamu?
Hatiku telah kemarau menunggumu

Pernah kukenal baik rasa bahagia itu,
tatkala tunas mulai tumbuh di tepi batu
seribu daun yang mekar,
bermandi embun terhangatkan mentari

Semoga masih ada,
yang ingin bertutur kata tentang bahagia,
saat musim semi mengetuk jendela kaca,
sehingga tiada sesiapa yang terantuk luka

Dan,
Manakala daun-daun bermekaran sepanjang jalan,
Kala bebunga telah merekah,
anginpun sibuk menghirupkan aroma cinta,
yang tercium dari napas benang sari dan putiknya

Pernah kureguk rasa getir itu,
tatkala tunasku mulai layu di hempas waktu
seribu daun yang terkapar,
terbakar oleh sengatan sang mentari
Semoga masih ada,
yang ingin bertegur sapa dengan tawa,
saat musim gugur mengetuk beranda pintu,
Biarpun lidah telah beku berdansa dengan kata,

Dan,
Manakala daun-daun mulai tercerai dari dekapan dahan,
Kala tangkainya tak lagi hangat memeluknya,
anginpun sibuk membisikkan rayuannya,
hingga ranting-rantingpun terbuai diayunnya


Saturday,April 17, 2010 at 9.53am

Untukmu yang Kusayang


Untukmu, yang Ku Sayang...

Tiada pernah lelah diri ini membilang namamu berulang-ulang. Pada tiap waktu, Kukecup dirimu dalam ribuan pagi, kala mentari masih sembunyi dalam selimut fajar, kala bunga yang masih segan keluar dari kuncupnya. Rasakanlah hadirku, yang bergulir dalam bebutir embun basahi dedaunan, mengayun manja pada pucuk dahan dalam senandung kicau burung.
Untukmu, yang Ku Sayang... Tiada pernah letih diri ini membisikkan namamu berkali-kali. Dalam gemerisik angin, yang membelai rambut cemara dengan mesra. Dalam desir air yang terantuk bebatuan hilir. Dalam gelegak ombak, yang mengajak buih berenang menggapai pantainya…

Untukmu, yang Ku Sayang...


Dalam ribuan syukur, ingin kuhaturkan rasa terima kasih, akan hadirmu yang sungguh berarti bagiku. Ingin kusematkan kalimat, yang mampu melukiskan betapa agung pesonamu, yang selalu teduh memayung jiwaku. Tetapi penaku seolah terpasung beku, seperti keluh lidahku, yang tak mampu lagi berdansa dengan kata.
Dalam senyap, biarlah kubercakap, tentang harap yang tiada pernah terucap. Tatkala aksara kata tak mampu mengungkapkannya, biarlah sunyi yang akan mengejanya

Untukmu, yang Ku Sayang...


Petikan cinta menggetar sukma
di raga hampa jiwa terpasung kau usung keranda menjemputnya di bibir beku kau lumat dia

"Duduklah di sini, hai sang kekasih
bersandarlah di bahu waktu di tirai putih membalut tubuh kurangkul engkau tiada jemu.

"Hembuskan napas perlahan,
usah terburu, usah meragu Engkaupun sungguh tahu, Malam tiada pernah berkesudahan..."

Saturday,April 17, 2010 at 9.48am

Jumat, 02 April 2010

Buih - buih Kenangan


Buih-buih ombak telah menjejak bebatuan pinggir pantai. Satu dua perciknya menyapa wajahku yang setengah tengadah memandang cakrawala senja. Kanvas merahnya perlahan pudar terhapus kabut gelap, yang kini juga telah merayap sekeliling. Seolah ia hendak mengusirku dari singgahsana lamunan.
Sebuah suara lembut menyentakku dari kedamaian. Suara yang pernah sangat akrab di genderang pendengaranku. “Tempat ini rupanya mempertemukan kita kembali.”

Sejenak kulihat wajah itu. Wajah yang pernah membuat malam-malamku terasa purnama. Kini, berkas purnama itupun masih terpancar di rona wajahnya. Pun gelap, tak mampu melenyapkan hadirnya...
Andai aku bisa, akan kulenyapkan bayangannya dari kalbu. Ingin kutepis rasa yang pernah ada dan pernah singgah. Namun pesonanya, seolah tiada henti bergema dalam cakrawala jiwa.
“Ada baiknya jika kita tak pernah dipertemukan,”ucapku akhirnya. Kucoba untuk menutup setiap celah, yang akan membuat kekagumanku padanya kembali menggebu.

“Benar-benar tak ada kesempatan bagiku untuk mengorbit di sisa harimu?”Ia duduk di sampingku menatap senja yang telah rebah. Kilauan merahnya masih kental menggumpal dalam kecamuk ombak yang seolah tiada henti menderu. Seperti rindu ini...

Namun aku sudah berniat untuk membekukan kerinduan yang hanya akan berbuah kehampaan. Akan kukubur kerinduan ini dalam-dalam, lalu menaburkan salju beku di atasnya. Lalu kuundang musim dingin tuk bertamu sepanjang waktu di situ.

“Pernah kutasbihkan namamu di segenap hari dan malamku. Berharap engkau hadir di sana, menyapaku. Tuk mengobati kerinduanku. Tetapi yang ada, Engkau malah menyingkir pergi, beranjak menjauh dari sisi. Untuk sebuah alasan yang tak kumengerti.”

“Harus dengan bahasa apa lagi aku menjelaskannya,’bahwa itu adalah sebuah kesalahan!’ bukankah setiap orang pernah melakukan kekhilafan dalam hidupnya?!”

Ia memandangku, yang dari tadi tak henti memandang laut, sambil menghitung telah berapa banyak derai ombak, yang memercikkan airnya ke wajah ini Hembusan angin melambai-lambaikan rambutnya yang terurai, yang beberapa helai diantaranya menari-nari di depan hidungku. Seperti kucium aroma parfum yang biasa dipakainya. Semerbak wangi itu pertama kali tercium kala kusematkan seuntai kalung di lehernya. Setelah itu pandangan kami bertemu, hingga mataku dan matanya terasa begitu dekat, dan tiba-tiba saja bibirku terasa hangat...

Kutepiskan memori itu lagi. Bagaimanapun aku mesti menyudahi semua kenangan yang telah berlalu. Dan aku mesti membuat penegasan sekarang.

“Pernah kutitipkan sebuah hati padamu, yang ketika engkau pergi, terbawa pula ia. Ketika engkau kembali kemari, tak kulihat lagi ia bersamamu. Mungkin ia telah mengembara, ke negeri entah...”
Dan akupun pergi. Menembus malam yang telah menyulam gelap di selaksa pandang. Malam akan senantiasa hampa cahaya, ketika rembulan gerhana. Pun tak satupun bintang yang menyapa…

Tuesday, March 30, 2010 at 5:11pm

Senja di kaki cemara


Tahukah engkau, senja. Bahwa aku telah mendambanya sekian lama. Pertama kali kami bersua dalam rindang pepohonan cemara. Ada derai hujan, yang perlahan menyapa wajahnya yang semakin segar bila dipandang mata. Dan rambutnya yang sebelumnya menari dihembus sang bayu, perlahan telah menggumpal menjadi satu, mendekap erat-erat bahunya. Matanya nan bening, tak kuasa ku melihatnya berlama-lama.


“Ah, Senja! Jangan paksa aku memandang matanya lagi. Pintalah aku untuk berenang mengelilingi telaga ini sepuluh kali. Itu lebih manusiawi bagiku.”


Tak Engkau lihatkah ketika ia mulai tersenyum? Rona mukanya agak berubah merah. Seperti wajahmu, senja. Dan bibir mungilnya, semerah bunga yang merekah kala pagi mulai menjelma. Tatkala ia tertawa, seperti kulihat bulan sabit di sekitar pipinya. Itukah lesung pipit, yang membuat DIA terlihat semakin manis dan indah bila dipandang?


“Tentu saja, senja. Tentu saja aku ingin memegang lesung pipit itu suatu ketika!”
Hanya sekali-dua kali ia berkata. Tapi itu sudah cukup membuat jiwaku seolah terbang ke langit ketujuh. Barisan giginya yang putih yang bertaring disampingnya, senantiasa basah tersiram gulungan lidahnya. Seperti jajaran karang yang tersiram ombak. Segar dan teduh terasa di seluruh tubuhnya.

Tutur sapa yang terhatur dari suaranya nan khas, terasa lebih merdu dari biduan manapun. Setiap kali kumendengar ia berkata, seolah ada irama yang membahana dalam jiwa, yang makin lama makin menggetarkan dada.


Setiap pintanya adalah perintah, yang sangat menyenangkan bila dilakukan, tentunya…! Dan akan sangat membahagiakan jika aku bisa meluluskan semua permintaannya...
“Tentu saja ia tak seegois itu, senja! Ia tak akan memintaku melakukan hal-hal yang di luar kemampuanku. Sama halnya dirimu. Engkau tak selalu meminta mentari berendam di kedalaman lautan sebelum ia beranjak tidur, bukan?! Mungkin penghujan telah memandikannya dalam satu siang, sehingga ketika sore mentari tak perlu berendam lagi.

"Pun apa yang ia pinta adalah untuk kebaikanku juga. Seperti,… seperti menjaga kesehatan, dengan makan teratur…misalnya. Ia bilang, aku mesti menyayangi diri sendiri sebelum menyayangi orang lain. Begitulah...Engkau tahu maksudku, khan?!


"Ah, sepertinya engkau telah mengantuk, senja. Kembalilah ke peraduanmu. Esok aku akan bercerita lagi..."


Hanya saja, aku ingin engkau tahu bahwa diapun kala terantuk kantuk, matanya boleh jadi meredup...sesekali bibir mungilnya merekah lebar, sesuatu yang jarang aku lihat. Sangat indah, hingga aku memandanginya berlama-lama. Namun, ia segera menutupnya dengan telapak tangannya. Dan ia lalu tersenyum, dengan senyum yang sempurna, seperti purnama sang rembulan di malam hampa cahaya!

"Tidurlah, Senja. Biarkanku terjaga di sini. Menghitung derai-derai air yang jatuh, dari ujung cemara. Biarkanku bersandar di bawah pepohonannya. Menanti ia menyapaku kembali..."

Monday, March 29, 2010 at 5:37pm

Sang Surya dan Rembulan...


Bagaimanakah sang Surya rindu akan Rembulannya?
Sinarnya yang lembut menyapa di pagi hari, meranggas dedaunan kala siang menjelma, sontak berubah syahdu kala senja merona.
Sedangkan sang Rembulan tiap kali menyapa selalu ramah intensitasnya, walau terkadang matanya begitu sayu untuk dapat memandang Bumi di suatu ketika.

Dalam genggaman hari, Mataharilah penguasa alam raya.

Matanya adalah bara yang siap menghukum siapa saja yang jelas-jelas berkhianat terhadapnya. Maka lihatlah sana, berpalinglah, dan serukanlah namanya.
Seperti burung-burung yang senantiasa bersenandung mengagungkan kebesarannya.
Atau jadilah seperti bunga. Dalam genggamannya mekar berseri, dan merona serta senantiasa tersenyum memperlihatkan terima kasihnya.

Dalam genggaman hari, pelita alam berkibar dengan gagahnya.
Ia jelajah semesta hingga tiada jalan dan tikungan yang tak terlewati.
Gunung –gunung dan bukit yang menjulang didakinya dengan langkah pasti.
Tak ketinggalan segala lubang dan kawah yang berbahaya, ia tandai dengan hati-hati agar para makhluk tiada terpedaya.

Dalam tirai malam, semua makhluk berlindung dalam bayang-bayang. Seakan tiada punya arti. Seolah mereka tak punya jati. Segala kecongkakan, kesombongan, keperkasaan, kemegahan menjadi tak berharga untuk dinikmati.
Hawa kehidupan seakan telah mati bersamaan dengan pekatnya hitam.
Yang tersisa hanyalah ketakutan yang luar biasa menerpa.


Maka tampillah Rembulan.

Hingga bayang-bayang mereka terentaskan dari kegelapan yang menyelimuti. Hingga mereka mampu mengenali diri lagi.
Hingga mereka bisa menengadahkan wajah dengan gagahnya seperti kala matahari bersinar. Bersama sang Rembulan hadir ketentraman dan kedamaian malam.
Bersamanya hilang segala kekalutan dan ketakutan yang mencekam, hilang pula segala penderitaan dan penyiksaan.

Namun, apalah jadinya jika keduanya: sang pembimbing alam semesta bersua di suatu keheningan malam, atau di suatu senja buta?
Bahwa, ternyata mereka telah kesepian setelah sekian masa lamanya dan mengimpikan pertemuan tersebut pada setiap tidurnya.

Adalah rindu.
Palung waktu yang bertalu-talu.
Membikin jerawat dalam wajah sang Rembulan.
Membuat galau pada wajah Mentari.
Hingga mereka butuh sebuah energi untuk bereksitasi.

Dan, merekapun bertemu dalam sebuah perjamuan masa.
Dimana makhluk raya semua terpana.
Dan bumi seperti dipanggang dalam panci raksasa.

Matahari pun berkata pada sang Rembulan : “ Dinda, lama sudah kukayuh hari, kujelajahi semesta.
Bahkan gugusan bintang dalam barisan langit yang terjauh telah kutempuh masa mengarunginya. Tetapi bagiku tiada masa dan kata-kata yang lebih indah daripada kala bersamamu kini…

“Rona wajahmu dan lentik matamu nan cantik bak bidadari surgawi. Tiada sesuatupun yang mampu menandingi pesonamu.
Bahkan pesona Bumi sekalipun….”

Dengan lembut Rembulan pun berkata pada Matahari :
“Jangan begitu, Kanda. Janganlah terlalu mencintai mawar karena warnanya dan janganlah membenci karena durinya….”
“Aku tahu, Dinda,” kata Matahari. “Kutahu ia, karena tiap pagi selalu membangunkan lelap tidurnya. Kuingatkan dia untuk segera bergegas mencari makanannya agar ia cepat tumbuh dan mekar bebunganya.
Di kala kelopaknya telah mengembang ia pun tiap malam memanggilku berkali-kali agar aku cepat hadir menyaksikan bebunganya yang bermekaran.
Lalu kupegang mahkotanya yang cantik, dengan hati-hati pula agar ia tiada merasa terusik.

“Oh, Dinda. Sungguh setelah menyaksikan jagad raya, tiada yang bisa menggetarkan seluruh tubuh kecuali tatkala kuseru namamu.
Kini, setelah kita bertemu, kubersaksi demi Tuhan yang telah menciptakan langit dan semesta,- kuberjanji akan selalu mendampingimu dalam segala masamu.
Akulah satelit yang akan senantiasa mengorbit mengelilingi seluruh waktumu…”

"Kanda" ucap sang Rembulan lirih,
"Alangkah senang hati dan jiwaku mendengar segala puji dan penuturanmu. Bagiku, Engkaupun adalah pelita yang mampu menentramkan pikiran dan jiwaku. Bersamamu, aku merasa mempunyai arti dan jati….

“Sekian masa sendiri adalah waktu yang terasa lama untuk diarungi…..
"
“Sedangkan para makhluk di sana telah tercipta berpasangan dan tiada masa bagi mereka untuk tidak bermesraan.
Hingga mereka sama terlena tiada pernah mengucapkan satu dua terima kasih pada kita.
“Terkadang hal itu begitu menjengkelkan dan terasa memuakkan.
Hampir saja aku meminta Yang Maha Kuasa untuk menghukum kesombongan mereka.
Mungkin saja aku yang terlalu iri melihat kemesraan dan kebahagiaan mereka.

“Dengan bertemu dengan Dikau, kuresapi sedalam-dalamnya hakikat kebahagiaan hidup dan kemesraan jiwa yang tiada bisa kulukiskan.
Apakah ini yang disebut mereka dengan mabuk asmara?”

“Mungkin, Bahkan sangat mungkin, Dinda.
Aku pun mengalami dan merasakan kebahagiaan yang tiada ternilai.
Bila para manusia di bawah sana melambangkan perasaannya pada sesamanya dengan bunga, maka aku jadi bertanya-tanya dengan apakah kuluapkan ketulusan jiwa pada dirimu.
Apakah bintang kejora cukup menjadi penggantinya?”

“Jangan, --tidak usah, Kanda”, kata sang Rembulan dengan cepatnya.
“Toh ternyata kita tak bisa terus bersama.
Bersua denganmu saja aku telah cukup berbahagia.
Tetapi hanya sampai di sini saja kebahagiaan kita….”

Rembulan pun meneteskan air mata.
“Mengapa, mengapa bisa begitu?” tanya matahari dengan agak kecewa.
“Takdir. Takdir adalah tirai yang memisahkan kita,” sang rembulan menuturkan dengan terbata-bata.
“Bagaimanapun juga kita tak kan mampu melawan kuasa Sang Pencipta.
Ingatlah bahwa kita diciptakan untuk menyayangi sesuatu yang sama di masa yang berlainan.
“Dan, lihatlah kini. Geliat sekarat para penghuni bumi karena pertemuan ini,…” berkata Rembulan dengan nada penuh penyesalan.
Mataharipun bersimpuh. ”Takdir. Oh, Takdir. Sungguh kejam kau. Berapa banyak kebahagiaan dan harapan yang telah engkau rampas dari makhluk yang berhak memperolehnya.
Berapa banyak airmata, penderitaan dan kepedihan yang mesti ditanggung oleh mereka?

“Oh, Jika demikian sungguh tiada adil Tuhan pada kita. Lihatlah, sebelumnya. Setiap hari para manusia, binatang dan tetumbuhan saling bercanda, berasyik masyuk, bersuka ria berpasangan dengan bahagia.
Sungguh berlainan dengan kita. Kebahagiaan yang kita reguk sesaat adalah derita yang berkepanjangan dan duka yang akan mengiringi setiap mimpi.

“Jika demikian halnya, akan aku datangi Sang pencipta. Aku akan meminta supaya kitapun diijinkan bersama. Biar kebahagiaan dan ketentraman hidup dapat kita arungi bersama…”
Berkata sang rembulan dengan tegarnya,” Jangan terlalu bernafsu dan gegabah., Kanda! Sang Pencipta membikin segala sesuatu pasti dengan berbagai dalih dan hukum-Nya.
Keseimbangan adalah kuncinya. Setiap masa memiliki puncaknya, dan segala kebahagiaan dan penderitaan adalah ramuan yang berpadu satu.

“Lihatlah sebelumnya. Lihatlah bagaimana Adam dan Hawa telah terbuai dan terjungkal oleh takdir mereka. Ingatlah, Wahai Kanda tersayang. Jangan terbuai oleh cinta karena sesungguhnya cinta itu membuat buta dan membikin noda.
Akibat yang ditimbulkannya sungguh luar biasa pedih dan mendalam, menodai kebahagiaan dan kemuliaan.

“Maka bersyukurlah, Kanda. Bersyukurlah bahwa kita tidak buta akan itu semua.
Cinta hanyalah permainan yang dibuat Tuhan untuk menguji para makhluknya.
Apakah mereka bersyukur ataukah justru akan menjadi kufur? Jika mereka bersyukur, sesungguhnya mereka bersyukur untuk mereka sendiri.
Sedangkan jika mereka kufur sesungguhnya permainan Tuhan akan melemparkan mereka pada kenistaan dan kepedihan.

“Ingatlah pula bahwa sesungguhnya cinta memerlukan persembahan.
Kadar cintapun dapat terukur dari macam persembahan yang disajikan.
Percintaan menjadi tinggi nilainya jika persembahan yang disajikan berupa pengorbanan jiwa para pecintanya.
Itulah hakikat cinta yang tertinggi.
Namun, jika itu terjadi, bukankah pasangan-pasangan yang ada akan tereliminasi dan yang tinggal hanya kesendirian dan kesunyian?
“Maka, camkan hal ini, Kanda! Hakikat Cinta adalah menerima akan Takdir yang telah digariskan sang Pencipta ! Engkau boleh mencintai aku sebatas sewajarnya.”
Rembulan lalu memalingkan wajahnya dari Matahari, menerawang jauh ke langit.
“Sebab, aku sangat takut akan cinta yang berlebihan.
Dan, ingatkah Kanda akan risalah Ibrahim? Begitu mendambanya Ibrahim akan putra, sehingga ketika Tuhan memberkati do’anya dan diberinya dia seorang mahkota, bersyukurlah Ibrahim dan dicintainya anak tersebut.
Namun akhirnya kecintaannya seperti pisau bermata dua : lebih cinta mana dia kepada anaknya atau kepada Tuhannya?

“Kanda, kita bukanlah Ibrahim yang diberi ketegaran seperti karang dan kelapangan hati layaknya samudra.
Kita hanyalah tanah liat yang cepat lembek oleh guyuran air dan cepat mengeras kalau terbakar panas.
Karenanya, Aku mencintai Kanda dengan semestinya. Ku harapkan Kanda juga demikian.
“Iringilah jejakku kala siang dan carilah berita tentangku pada makhluk-makhluk salam Kanda pada sang senja, dan akan kukirimkan kabarku pada sang fajar…
Selamat tinggal Kanda tersayang...”
Matahari hanya dapat meratapi kepergian sang Rembulan dengan mata yang berkaca-kaca.
Pupuslah harapan terbesar dalam hidupnya: bersanding abadi dengan ratu malam; harapan yang selama ini selalu terkembang dan merasuk dalam pikirannya.

Dipandanginya wajah langit.
Guratan merah sang fajar masih mengisyaratkan luka di hatinya.
Tetesan embun yang berjatuhan kian meluluhkan langkahnya.
Begitu banyak kata-kata Rembulan yang berdesingan dalam telinganya yang ia belum bisa mencerna maknanya.
Namun satu hal yang diingatnya dari kata-kata Rembulan tadi.
Ia hanyalah makhluk yang cepat lembek oleh guyuran air dan cepat mengeras kalau terbakar panas.
Padahal ia sendiri adalah sumber panas bagi semesta.
Sungguh sebuah anomali……
Dipandanginya wajah Bumi.
Tampak olehnya geliat sekarat setiap penghuninya yang telah lama menantikan kehadirannya. Mataharipun segera teringat akan tugas-tugasnya : memberi Bumi sedekah kasih, mengusap dedaunan dengan belai kehangatan, dan menyapa setiap penghuninya dengan seramah-ramahnya.
Seraya mengingatkan mereka agar bersyukur atas karunia-Nya.

Kini, untuk pertama kalinya, Ia merasa bangga dan ikhlas atas tugas yang diembankan kepadanya.
Seikhlas malaikat yang berjalan pada shaf-Nya; dan ia merasa salah satu diantaranya…..

Monday, March 29, 2010 at 5:21pm

Derai cerita di ranting AKASIA


AKu tahu engkau akan berdiri di sana, menunggu di simpang waktu.
Tangan-tangan bimbang tak henti merayumu, tuk segera beranjak dari situ.
Ia ingin engkau menjejakkan langkah, menjauh dari rerimbunan Akasia, yang menaungimu dari terik mentari, yang meranggas apa saja dengan ganasnya.

Terkadang, penghujan kenangan datang.
Membuat jiwamu basah tergenang, sebasah tubuhmu yang terserang demam.
Dan bergulirlah cerita-cerita lalu, tentang dia, tentang dia yang lain dan tentang dia yang lain lagi.
Silih berganti mereka menyapamu, dalam demammu yang makin meninggi.


Adalah dia, yang kali pertama mengenalkanku tentang sebuah rasa yang tak pernah aku rasa sebelumnya. ‘Itu bukan cinta!’ tampikku berurai air mata.
“Dia adalah kemarau, yang menggugurkan semua daun-daun pengharapan.
Kelopakku baru saja merekah ketika ia mencampakkanku. Tercabik-cabiklah rantingku, hingga layu mengering.”
Entah berapa musim aku terpaku dalam bisu. Wajah-wajah yang menyapaku ku hiraukan begitu saja.
Tak sekalipun aku tumbuhkan tunas baru; meretas pengharapan baru. “Aku bukan lagi manusia suci, seperti bidadari surgawi, yang didamba semua lelaki.
Tak ada gunanya mendekat padaku. Karena kecewa pasti akan melanda siapapun yang mengetahui jati diri ini.”


Dia yang lain, adalah mentari yang ramah.
Tak henti ia menyiramiku dengan kasihnya.
Hingga tak sadar tunas-tunas pengharapanku mulai bermunculan dengan sendirinya.
Sesekali dua ia menemaniku dalam diamku.
Terkadang ia bercerita tentang hal-hal yang ditemuinya, dalam perjalanannya, sebelum ia menemuiku.
Sepertinya ia tak terlampau peduli apakah aku mendengarkannya ataukah tidak.
“Siapa sangka, lelaki tangguh itu ternyata rapuh,”ucapku lirih.
“Serapuh usianya!”
Gerimis tangis mewarnai pemakamannya.
Di sanalah derai-derai air mataku tumpah.
Berhari-hari aku diam membatu.
Di samping nisan, yang tak menyemat satu pesan kepergiannya.
Tak akan ada lagi cerita dia yang biasa ku acuhkan.
Padahal aku sangat ingin mendengarkan kelanjutannya.
“Mungkin, mungkin jika aku membuka pintu lebih dini, dia tak akan mati…”ratapku penuh sesal.
“Cukup, cukuplah aku mengenal lelaki!”kataku menguatkan diri.
“Dan biarlah aku sendiri, karena kutak ingin menyakiti dan tak ingin disakiti…”
Lalu aku memilih mengasingkan diri.
Di bawah rerimbunan Akasia, yang teduh memayung tubuhku.

Dia yang lain lagi, adalah lelaki ketiga, yang datang melalui jendela mimpi.
Setelah semua pintu kesadaran ku tutup rapat-rapat!
“Tak ada gunanya kau datang kemari,”igauku, menolak kedatangannya.
“Hanya rasa sesal yang akan menggumpal!”
Lelaki itu sering mendatangiku. Melalui mimpi tentunya. Dan engkaupun mulai merasa tak sendiri lagi.
Bahkan engkau sangat mendamba pertemuan itu.
Hingga seluruh waktuku, ingin kau tasbihkan di alam mimpi.
“Aku ingin bertemu dengannya, sekedar melihat wajahnya.
Tak penting segala apa yang dikatakannya.
Namun bersamanya, aku merasa tenang. Damai dan tenang.
Inikah pertanda cinta?!”
aku lantas tersenyum.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sejenak kemudian aku manggut-manggut.

“Tapi begitulah lelaki. Tak cukup sebuah simpati untuknya !
Ia malahan ingin aku bertandang ke rumahnya.
“Akan lebih menenangkan dan membahagiakan, jika engkau berkenan datang padaku,’ begitulah pengharapannya.
Lalu kutanyakan, mengapa bukan ia saja yang datang menjemputku?
Dan tahukah apa jawabannya?
‘aku sudah berkali-kali hadir, menyapamu dalam semilir mimpi...’”

“Kesal sekali rasanya!”keluhku.
“Aku ingin dia yang datang, memapahku yang kian lemah.
Bukan sebaliknya.
Tapi lagi-lagi ia menampik. ‘Engkau terpenjara dalam mimpi, yang engkau cipta sendiri. Tak siapapun bisa membebaskanmu, kecuali dirimu sendiri…”

Aku tahu dalam sekian lama menanti, letih telah membuatmu kehilangan nalar.
Hingga kudengar engkau berujar,”Dalam mimpiku, aku sudah damai bertemu dia.
Jadi lantas untuk apa ku mesti menemuinya jauh-jauh?”

Aku tersenyum mendengar penuturanmu.
Engkau mungkin tak tahu bahwa lelaki ketiga yang hadir dalam hidupmu, tiada pernah jemu menunggumu .
Tiada henti ia berdoa agar engkau diberikan kekuatan biar terlepas dari belenggu mimpi yang merantai hari-harimu.
Tak bosan ia mengintip di balik tirai jendela, pada setiap langkah yang melintas di batas pekarangannya.

Di batas penantiannya yang telah berakhir, ketika wajahmu tak jua hadir, bergegas ia melangkah.

Menuju rerimbunan Akasia.

Tempat engkau bersemayam di alam mimpi.
Dalam igaumu, engkau mulai bercerita padanya, tentang kisah lelaki pertama yang telah meredupkan hidupmu.
Lalu engkau ceritakan penyesalanmu pada lelaki kedua, yang engkau telah menyia-nyiakan kasihnya.
Masih setengah meracau, engkau bercerita tentang lelaki ketiga pada lelaki ketiga itu.

Engkau sungguh tak tahu, bahwa lelaki ketiga itu adalah KAMU....

Saturday, March 27, 2010 at 5:41pm

sepenggal sesal


Biar sedetik
telah terpercik hadirmu

merintik dalam butiran waktu

di bening kaca jendela

dalam angin dingin Desember

engkau mengetuk rindu

biar hanya sekilas

telah terlintas kilatan rindu

membuatku sejenak

tak beranjak


terpaku


termangu


terpana


terperangah


Hingga bergulir engkau ke tanah,

Menyusup dalam relung magma

Tinggalkan jejak basah

sebentar

pada aku

yang dipenggal sesal


di tiang waktu

Saturday, March 27, 2010 at 5:32pm