Laman

Jumat, 02 April 2010

Buih - buih Kenangan


Buih-buih ombak telah menjejak bebatuan pinggir pantai. Satu dua perciknya menyapa wajahku yang setengah tengadah memandang cakrawala senja. Kanvas merahnya perlahan pudar terhapus kabut gelap, yang kini juga telah merayap sekeliling. Seolah ia hendak mengusirku dari singgahsana lamunan.
Sebuah suara lembut menyentakku dari kedamaian. Suara yang pernah sangat akrab di genderang pendengaranku. “Tempat ini rupanya mempertemukan kita kembali.”

Sejenak kulihat wajah itu. Wajah yang pernah membuat malam-malamku terasa purnama. Kini, berkas purnama itupun masih terpancar di rona wajahnya. Pun gelap, tak mampu melenyapkan hadirnya...
Andai aku bisa, akan kulenyapkan bayangannya dari kalbu. Ingin kutepis rasa yang pernah ada dan pernah singgah. Namun pesonanya, seolah tiada henti bergema dalam cakrawala jiwa.
“Ada baiknya jika kita tak pernah dipertemukan,”ucapku akhirnya. Kucoba untuk menutup setiap celah, yang akan membuat kekagumanku padanya kembali menggebu.

“Benar-benar tak ada kesempatan bagiku untuk mengorbit di sisa harimu?”Ia duduk di sampingku menatap senja yang telah rebah. Kilauan merahnya masih kental menggumpal dalam kecamuk ombak yang seolah tiada henti menderu. Seperti rindu ini...

Namun aku sudah berniat untuk membekukan kerinduan yang hanya akan berbuah kehampaan. Akan kukubur kerinduan ini dalam-dalam, lalu menaburkan salju beku di atasnya. Lalu kuundang musim dingin tuk bertamu sepanjang waktu di situ.

“Pernah kutasbihkan namamu di segenap hari dan malamku. Berharap engkau hadir di sana, menyapaku. Tuk mengobati kerinduanku. Tetapi yang ada, Engkau malah menyingkir pergi, beranjak menjauh dari sisi. Untuk sebuah alasan yang tak kumengerti.”

“Harus dengan bahasa apa lagi aku menjelaskannya,’bahwa itu adalah sebuah kesalahan!’ bukankah setiap orang pernah melakukan kekhilafan dalam hidupnya?!”

Ia memandangku, yang dari tadi tak henti memandang laut, sambil menghitung telah berapa banyak derai ombak, yang memercikkan airnya ke wajah ini Hembusan angin melambai-lambaikan rambutnya yang terurai, yang beberapa helai diantaranya menari-nari di depan hidungku. Seperti kucium aroma parfum yang biasa dipakainya. Semerbak wangi itu pertama kali tercium kala kusematkan seuntai kalung di lehernya. Setelah itu pandangan kami bertemu, hingga mataku dan matanya terasa begitu dekat, dan tiba-tiba saja bibirku terasa hangat...

Kutepiskan memori itu lagi. Bagaimanapun aku mesti menyudahi semua kenangan yang telah berlalu. Dan aku mesti membuat penegasan sekarang.

“Pernah kutitipkan sebuah hati padamu, yang ketika engkau pergi, terbawa pula ia. Ketika engkau kembali kemari, tak kulihat lagi ia bersamamu. Mungkin ia telah mengembara, ke negeri entah...”
Dan akupun pergi. Menembus malam yang telah menyulam gelap di selaksa pandang. Malam akan senantiasa hampa cahaya, ketika rembulan gerhana. Pun tak satupun bintang yang menyapa…

Tuesday, March 30, 2010 at 5:11pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar