Laman

Jumat, 02 April 2010

Derai cerita di ranting AKASIA


AKu tahu engkau akan berdiri di sana, menunggu di simpang waktu.
Tangan-tangan bimbang tak henti merayumu, tuk segera beranjak dari situ.
Ia ingin engkau menjejakkan langkah, menjauh dari rerimbunan Akasia, yang menaungimu dari terik mentari, yang meranggas apa saja dengan ganasnya.

Terkadang, penghujan kenangan datang.
Membuat jiwamu basah tergenang, sebasah tubuhmu yang terserang demam.
Dan bergulirlah cerita-cerita lalu, tentang dia, tentang dia yang lain dan tentang dia yang lain lagi.
Silih berganti mereka menyapamu, dalam demammu yang makin meninggi.


Adalah dia, yang kali pertama mengenalkanku tentang sebuah rasa yang tak pernah aku rasa sebelumnya. ‘Itu bukan cinta!’ tampikku berurai air mata.
“Dia adalah kemarau, yang menggugurkan semua daun-daun pengharapan.
Kelopakku baru saja merekah ketika ia mencampakkanku. Tercabik-cabiklah rantingku, hingga layu mengering.”
Entah berapa musim aku terpaku dalam bisu. Wajah-wajah yang menyapaku ku hiraukan begitu saja.
Tak sekalipun aku tumbuhkan tunas baru; meretas pengharapan baru. “Aku bukan lagi manusia suci, seperti bidadari surgawi, yang didamba semua lelaki.
Tak ada gunanya mendekat padaku. Karena kecewa pasti akan melanda siapapun yang mengetahui jati diri ini.”


Dia yang lain, adalah mentari yang ramah.
Tak henti ia menyiramiku dengan kasihnya.
Hingga tak sadar tunas-tunas pengharapanku mulai bermunculan dengan sendirinya.
Sesekali dua ia menemaniku dalam diamku.
Terkadang ia bercerita tentang hal-hal yang ditemuinya, dalam perjalanannya, sebelum ia menemuiku.
Sepertinya ia tak terlampau peduli apakah aku mendengarkannya ataukah tidak.
“Siapa sangka, lelaki tangguh itu ternyata rapuh,”ucapku lirih.
“Serapuh usianya!”
Gerimis tangis mewarnai pemakamannya.
Di sanalah derai-derai air mataku tumpah.
Berhari-hari aku diam membatu.
Di samping nisan, yang tak menyemat satu pesan kepergiannya.
Tak akan ada lagi cerita dia yang biasa ku acuhkan.
Padahal aku sangat ingin mendengarkan kelanjutannya.
“Mungkin, mungkin jika aku membuka pintu lebih dini, dia tak akan mati…”ratapku penuh sesal.
“Cukup, cukuplah aku mengenal lelaki!”kataku menguatkan diri.
“Dan biarlah aku sendiri, karena kutak ingin menyakiti dan tak ingin disakiti…”
Lalu aku memilih mengasingkan diri.
Di bawah rerimbunan Akasia, yang teduh memayung tubuhku.

Dia yang lain lagi, adalah lelaki ketiga, yang datang melalui jendela mimpi.
Setelah semua pintu kesadaran ku tutup rapat-rapat!
“Tak ada gunanya kau datang kemari,”igauku, menolak kedatangannya.
“Hanya rasa sesal yang akan menggumpal!”
Lelaki itu sering mendatangiku. Melalui mimpi tentunya. Dan engkaupun mulai merasa tak sendiri lagi.
Bahkan engkau sangat mendamba pertemuan itu.
Hingga seluruh waktuku, ingin kau tasbihkan di alam mimpi.
“Aku ingin bertemu dengannya, sekedar melihat wajahnya.
Tak penting segala apa yang dikatakannya.
Namun bersamanya, aku merasa tenang. Damai dan tenang.
Inikah pertanda cinta?!”
aku lantas tersenyum.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sejenak kemudian aku manggut-manggut.

“Tapi begitulah lelaki. Tak cukup sebuah simpati untuknya !
Ia malahan ingin aku bertandang ke rumahnya.
“Akan lebih menenangkan dan membahagiakan, jika engkau berkenan datang padaku,’ begitulah pengharapannya.
Lalu kutanyakan, mengapa bukan ia saja yang datang menjemputku?
Dan tahukah apa jawabannya?
‘aku sudah berkali-kali hadir, menyapamu dalam semilir mimpi...’”

“Kesal sekali rasanya!”keluhku.
“Aku ingin dia yang datang, memapahku yang kian lemah.
Bukan sebaliknya.
Tapi lagi-lagi ia menampik. ‘Engkau terpenjara dalam mimpi, yang engkau cipta sendiri. Tak siapapun bisa membebaskanmu, kecuali dirimu sendiri…”

Aku tahu dalam sekian lama menanti, letih telah membuatmu kehilangan nalar.
Hingga kudengar engkau berujar,”Dalam mimpiku, aku sudah damai bertemu dia.
Jadi lantas untuk apa ku mesti menemuinya jauh-jauh?”

Aku tersenyum mendengar penuturanmu.
Engkau mungkin tak tahu bahwa lelaki ketiga yang hadir dalam hidupmu, tiada pernah jemu menunggumu .
Tiada henti ia berdoa agar engkau diberikan kekuatan biar terlepas dari belenggu mimpi yang merantai hari-harimu.
Tak bosan ia mengintip di balik tirai jendela, pada setiap langkah yang melintas di batas pekarangannya.

Di batas penantiannya yang telah berakhir, ketika wajahmu tak jua hadir, bergegas ia melangkah.

Menuju rerimbunan Akasia.

Tempat engkau bersemayam di alam mimpi.
Dalam igaumu, engkau mulai bercerita padanya, tentang kisah lelaki pertama yang telah meredupkan hidupmu.
Lalu engkau ceritakan penyesalanmu pada lelaki kedua, yang engkau telah menyia-nyiakan kasihnya.
Masih setengah meracau, engkau bercerita tentang lelaki ketiga pada lelaki ketiga itu.

Engkau sungguh tak tahu, bahwa lelaki ketiga itu adalah KAMU....

Saturday, March 27, 2010 at 5:41pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar