
"..........."
Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca menalikannya. Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran tebak menebak, agar yang tersirat tetap tak tersurat.
Bathinku meringis karena keadaan, Bathinnya tergugu karena telah dijerat dan diburu waktu. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan demikian : Menampilkan cerah yang tak sejati karena awan mendung tak pantas jadi pajangan. Sampai akhirnya nanti badai meletus entah menghangatkan atau menghanguskan.
Kini malam memuram. Diamku menginfeksi udara dan membuat dunia sungkan bersuara. Lenganku kutarik untuk merengkuh diriku sendiri. Tidak apa-apa.
Aku mengerti….
Duka membuatmu demam, Kesedihan selalu membawamu pulang ke rahim ibu dimana tempat dimana kita meringkuk nyaman sendirian padahal tidak.
Diamku memapahku ke ujung pertahanan. Dan akhirnya kutersedak oleh hampa. Tak satupun boleh menodai diamku.
Bagaimana mungkin aku jadikan tubuhku sangkar bagi perasaan? Bukankah perasaanlah kandang dari jasad ini?
Tangisanku yang tak terlihat telah merobek ruang waktu dan menghampiriku dengan caranya sendiri.
Adakalanya kesendirian menjadi hal yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.
Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca suka atau tidak suka pada hasilnya.
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya,
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah dia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah olah kaca dari surga, tatkala ia tak perduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik.
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yag selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti lebih mengerti dari yag semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh kea as tapi masih dalam dan tak bias terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani. JEMBATAN YANG RENDAH HATI BUKAN RENDAH DIRI.
Aku takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanku untuk mengakui DIA mulai ragu.
Dialah bagian terbesar dalam hidupku saat ini, tapi aku cemas. Kata “ SEJARAH” mulai menggantung hati-hati di atas sana. Menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika di sentuh menjadi embun yang rapuh.
Langkah perjalanan hidupku selalu mengharuskan untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalaku sebagai sang kekasih impian, sang tujuan, sang inspirasi. Smentara dalam setiap detik yang berjalan, kita adalah musafir yang tersesat di padang pasir, berjalan dengan kompas masing-masing tanpa ada usaha untuk saing mencocokkan. Sesekali kita bertemu, berusaha untuk asling toleransi atas nama cinta dan perjuangan yang tidak boleh sia-sia.
Terkadang aku ingin memencet tombol tunda andai bisa, Aku ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.
Aku yang merasakan apa yang kamu rasakan, yang mendamba untuk mengalami . Aku yang telah menuliskan semua tentang rasa ini sebagai surat-surat cinta padamu yang tak pernah terkirim.
Wednesday, January 6, 2010 at 1:14pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar