
Tahukah engkau, senja. Bahwa aku telah mendambanya sekian lama. Pertama kali kami bersua dalam rindang pepohonan cemara. Ada derai hujan, yang perlahan menyapa wajahnya yang semakin segar bila dipandang mata. Dan rambutnya yang sebelumnya menari dihembus sang bayu, perlahan telah menggumpal menjadi satu, mendekap erat-erat bahunya. Matanya nan bening, tak kuasa ku melihatnya berlama-lama.
“Ah, Senja! Jangan paksa aku memandang matanya lagi. Pintalah aku untuk berenang mengelilingi telaga ini sepuluh kali. Itu lebih manusiawi bagiku.”
Tak Engkau lihatkah ketika ia mulai tersenyum? Rona mukanya agak berubah merah. Seperti wajahmu, senja. Dan bibir mungilnya, semerah bunga yang merekah kala pagi mulai menjelma. Tatkala ia tertawa, seperti kulihat bulan sabit di sekitar pipinya. Itukah lesung pipit, yang membuat DIA terlihat semakin manis dan indah bila dipandang?
“Tentu saja, senja. Tentu saja aku ingin memegang lesung pipit itu suatu ketika!” Hanya sekali-dua kali ia berkata. Tapi itu sudah cukup membuat jiwaku seolah terbang ke langit ketujuh. Barisan giginya yang putih yang bertaring disampingnya, senantiasa basah tersiram gulungan lidahnya. Seperti jajaran karang yang tersiram ombak. Segar dan teduh terasa di seluruh tubuhnya.
Tutur sapa yang terhatur dari suaranya nan khas, terasa lebih merdu dari biduan manapun. Setiap kali kumendengar ia berkata, seolah ada irama yang membahana dalam jiwa, yang makin lama makin menggetarkan dada.
Setiap pintanya adalah perintah, yang sangat menyenangkan bila dilakukan, tentunya…! Dan akan sangat membahagiakan jika aku bisa meluluskan semua permintaannya... “Tentu saja ia tak seegois itu, senja! Ia tak akan memintaku melakukan hal-hal yang di luar kemampuanku. Sama halnya dirimu. Engkau tak selalu meminta mentari berendam di kedalaman lautan sebelum ia beranjak tidur, bukan?! Mungkin penghujan telah memandikannya dalam satu siang, sehingga ketika sore mentari tak perlu berendam lagi.
"Pun apa yang ia pinta adalah untuk kebaikanku juga. Seperti,… seperti menjaga kesehatan, dengan makan teratur…misalnya. Ia bilang, aku mesti menyayangi diri sendiri sebelum menyayangi orang lain. Begitulah...Engkau tahu maksudku, khan?!
"Ah, sepertinya engkau telah mengantuk, senja. Kembalilah ke peraduanmu. Esok aku akan bercerita lagi..."
Hanya saja, aku ingin engkau tahu bahwa diapun kala terantuk kantuk, matanya boleh jadi meredup...sesekali bibir mungilnya merekah lebar, sesuatu yang jarang aku lihat. Sangat indah, hingga aku memandanginya berlama-lama. Namun, ia segera menutupnya dengan telapak tangannya. Dan ia lalu tersenyum, dengan senyum yang sempurna, seperti purnama sang rembulan di malam hampa cahaya!
"Tidurlah, Senja. Biarkanku terjaga di sini. Menghitung derai-derai air yang jatuh, dari ujung cemara. Biarkanku bersandar di bawah pepohonannya. Menanti ia menyapaku kembali..."
Monday, March 29, 2010 at 5:37pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar