Laman

Jumat, 02 April 2010

Sang Surya dan Rembulan...


Bagaimanakah sang Surya rindu akan Rembulannya?
Sinarnya yang lembut menyapa di pagi hari, meranggas dedaunan kala siang menjelma, sontak berubah syahdu kala senja merona.
Sedangkan sang Rembulan tiap kali menyapa selalu ramah intensitasnya, walau terkadang matanya begitu sayu untuk dapat memandang Bumi di suatu ketika.

Dalam genggaman hari, Mataharilah penguasa alam raya.

Matanya adalah bara yang siap menghukum siapa saja yang jelas-jelas berkhianat terhadapnya. Maka lihatlah sana, berpalinglah, dan serukanlah namanya.
Seperti burung-burung yang senantiasa bersenandung mengagungkan kebesarannya.
Atau jadilah seperti bunga. Dalam genggamannya mekar berseri, dan merona serta senantiasa tersenyum memperlihatkan terima kasihnya.

Dalam genggaman hari, pelita alam berkibar dengan gagahnya.
Ia jelajah semesta hingga tiada jalan dan tikungan yang tak terlewati.
Gunung –gunung dan bukit yang menjulang didakinya dengan langkah pasti.
Tak ketinggalan segala lubang dan kawah yang berbahaya, ia tandai dengan hati-hati agar para makhluk tiada terpedaya.

Dalam tirai malam, semua makhluk berlindung dalam bayang-bayang. Seakan tiada punya arti. Seolah mereka tak punya jati. Segala kecongkakan, kesombongan, keperkasaan, kemegahan menjadi tak berharga untuk dinikmati.
Hawa kehidupan seakan telah mati bersamaan dengan pekatnya hitam.
Yang tersisa hanyalah ketakutan yang luar biasa menerpa.


Maka tampillah Rembulan.

Hingga bayang-bayang mereka terentaskan dari kegelapan yang menyelimuti. Hingga mereka mampu mengenali diri lagi.
Hingga mereka bisa menengadahkan wajah dengan gagahnya seperti kala matahari bersinar. Bersama sang Rembulan hadir ketentraman dan kedamaian malam.
Bersamanya hilang segala kekalutan dan ketakutan yang mencekam, hilang pula segala penderitaan dan penyiksaan.

Namun, apalah jadinya jika keduanya: sang pembimbing alam semesta bersua di suatu keheningan malam, atau di suatu senja buta?
Bahwa, ternyata mereka telah kesepian setelah sekian masa lamanya dan mengimpikan pertemuan tersebut pada setiap tidurnya.

Adalah rindu.
Palung waktu yang bertalu-talu.
Membikin jerawat dalam wajah sang Rembulan.
Membuat galau pada wajah Mentari.
Hingga mereka butuh sebuah energi untuk bereksitasi.

Dan, merekapun bertemu dalam sebuah perjamuan masa.
Dimana makhluk raya semua terpana.
Dan bumi seperti dipanggang dalam panci raksasa.

Matahari pun berkata pada sang Rembulan : “ Dinda, lama sudah kukayuh hari, kujelajahi semesta.
Bahkan gugusan bintang dalam barisan langit yang terjauh telah kutempuh masa mengarunginya. Tetapi bagiku tiada masa dan kata-kata yang lebih indah daripada kala bersamamu kini…

“Rona wajahmu dan lentik matamu nan cantik bak bidadari surgawi. Tiada sesuatupun yang mampu menandingi pesonamu.
Bahkan pesona Bumi sekalipun….”

Dengan lembut Rembulan pun berkata pada Matahari :
“Jangan begitu, Kanda. Janganlah terlalu mencintai mawar karena warnanya dan janganlah membenci karena durinya….”
“Aku tahu, Dinda,” kata Matahari. “Kutahu ia, karena tiap pagi selalu membangunkan lelap tidurnya. Kuingatkan dia untuk segera bergegas mencari makanannya agar ia cepat tumbuh dan mekar bebunganya.
Di kala kelopaknya telah mengembang ia pun tiap malam memanggilku berkali-kali agar aku cepat hadir menyaksikan bebunganya yang bermekaran.
Lalu kupegang mahkotanya yang cantik, dengan hati-hati pula agar ia tiada merasa terusik.

“Oh, Dinda. Sungguh setelah menyaksikan jagad raya, tiada yang bisa menggetarkan seluruh tubuh kecuali tatkala kuseru namamu.
Kini, setelah kita bertemu, kubersaksi demi Tuhan yang telah menciptakan langit dan semesta,- kuberjanji akan selalu mendampingimu dalam segala masamu.
Akulah satelit yang akan senantiasa mengorbit mengelilingi seluruh waktumu…”

"Kanda" ucap sang Rembulan lirih,
"Alangkah senang hati dan jiwaku mendengar segala puji dan penuturanmu. Bagiku, Engkaupun adalah pelita yang mampu menentramkan pikiran dan jiwaku. Bersamamu, aku merasa mempunyai arti dan jati….

“Sekian masa sendiri adalah waktu yang terasa lama untuk diarungi…..
"
“Sedangkan para makhluk di sana telah tercipta berpasangan dan tiada masa bagi mereka untuk tidak bermesraan.
Hingga mereka sama terlena tiada pernah mengucapkan satu dua terima kasih pada kita.
“Terkadang hal itu begitu menjengkelkan dan terasa memuakkan.
Hampir saja aku meminta Yang Maha Kuasa untuk menghukum kesombongan mereka.
Mungkin saja aku yang terlalu iri melihat kemesraan dan kebahagiaan mereka.

“Dengan bertemu dengan Dikau, kuresapi sedalam-dalamnya hakikat kebahagiaan hidup dan kemesraan jiwa yang tiada bisa kulukiskan.
Apakah ini yang disebut mereka dengan mabuk asmara?”

“Mungkin, Bahkan sangat mungkin, Dinda.
Aku pun mengalami dan merasakan kebahagiaan yang tiada ternilai.
Bila para manusia di bawah sana melambangkan perasaannya pada sesamanya dengan bunga, maka aku jadi bertanya-tanya dengan apakah kuluapkan ketulusan jiwa pada dirimu.
Apakah bintang kejora cukup menjadi penggantinya?”

“Jangan, --tidak usah, Kanda”, kata sang Rembulan dengan cepatnya.
“Toh ternyata kita tak bisa terus bersama.
Bersua denganmu saja aku telah cukup berbahagia.
Tetapi hanya sampai di sini saja kebahagiaan kita….”

Rembulan pun meneteskan air mata.
“Mengapa, mengapa bisa begitu?” tanya matahari dengan agak kecewa.
“Takdir. Takdir adalah tirai yang memisahkan kita,” sang rembulan menuturkan dengan terbata-bata.
“Bagaimanapun juga kita tak kan mampu melawan kuasa Sang Pencipta.
Ingatlah bahwa kita diciptakan untuk menyayangi sesuatu yang sama di masa yang berlainan.
“Dan, lihatlah kini. Geliat sekarat para penghuni bumi karena pertemuan ini,…” berkata Rembulan dengan nada penuh penyesalan.
Mataharipun bersimpuh. ”Takdir. Oh, Takdir. Sungguh kejam kau. Berapa banyak kebahagiaan dan harapan yang telah engkau rampas dari makhluk yang berhak memperolehnya.
Berapa banyak airmata, penderitaan dan kepedihan yang mesti ditanggung oleh mereka?

“Oh, Jika demikian sungguh tiada adil Tuhan pada kita. Lihatlah, sebelumnya. Setiap hari para manusia, binatang dan tetumbuhan saling bercanda, berasyik masyuk, bersuka ria berpasangan dengan bahagia.
Sungguh berlainan dengan kita. Kebahagiaan yang kita reguk sesaat adalah derita yang berkepanjangan dan duka yang akan mengiringi setiap mimpi.

“Jika demikian halnya, akan aku datangi Sang pencipta. Aku akan meminta supaya kitapun diijinkan bersama. Biar kebahagiaan dan ketentraman hidup dapat kita arungi bersama…”
Berkata sang rembulan dengan tegarnya,” Jangan terlalu bernafsu dan gegabah., Kanda! Sang Pencipta membikin segala sesuatu pasti dengan berbagai dalih dan hukum-Nya.
Keseimbangan adalah kuncinya. Setiap masa memiliki puncaknya, dan segala kebahagiaan dan penderitaan adalah ramuan yang berpadu satu.

“Lihatlah sebelumnya. Lihatlah bagaimana Adam dan Hawa telah terbuai dan terjungkal oleh takdir mereka. Ingatlah, Wahai Kanda tersayang. Jangan terbuai oleh cinta karena sesungguhnya cinta itu membuat buta dan membikin noda.
Akibat yang ditimbulkannya sungguh luar biasa pedih dan mendalam, menodai kebahagiaan dan kemuliaan.

“Maka bersyukurlah, Kanda. Bersyukurlah bahwa kita tidak buta akan itu semua.
Cinta hanyalah permainan yang dibuat Tuhan untuk menguji para makhluknya.
Apakah mereka bersyukur ataukah justru akan menjadi kufur? Jika mereka bersyukur, sesungguhnya mereka bersyukur untuk mereka sendiri.
Sedangkan jika mereka kufur sesungguhnya permainan Tuhan akan melemparkan mereka pada kenistaan dan kepedihan.

“Ingatlah pula bahwa sesungguhnya cinta memerlukan persembahan.
Kadar cintapun dapat terukur dari macam persembahan yang disajikan.
Percintaan menjadi tinggi nilainya jika persembahan yang disajikan berupa pengorbanan jiwa para pecintanya.
Itulah hakikat cinta yang tertinggi.
Namun, jika itu terjadi, bukankah pasangan-pasangan yang ada akan tereliminasi dan yang tinggal hanya kesendirian dan kesunyian?
“Maka, camkan hal ini, Kanda! Hakikat Cinta adalah menerima akan Takdir yang telah digariskan sang Pencipta ! Engkau boleh mencintai aku sebatas sewajarnya.”
Rembulan lalu memalingkan wajahnya dari Matahari, menerawang jauh ke langit.
“Sebab, aku sangat takut akan cinta yang berlebihan.
Dan, ingatkah Kanda akan risalah Ibrahim? Begitu mendambanya Ibrahim akan putra, sehingga ketika Tuhan memberkati do’anya dan diberinya dia seorang mahkota, bersyukurlah Ibrahim dan dicintainya anak tersebut.
Namun akhirnya kecintaannya seperti pisau bermata dua : lebih cinta mana dia kepada anaknya atau kepada Tuhannya?

“Kanda, kita bukanlah Ibrahim yang diberi ketegaran seperti karang dan kelapangan hati layaknya samudra.
Kita hanyalah tanah liat yang cepat lembek oleh guyuran air dan cepat mengeras kalau terbakar panas.
Karenanya, Aku mencintai Kanda dengan semestinya. Ku harapkan Kanda juga demikian.
“Iringilah jejakku kala siang dan carilah berita tentangku pada makhluk-makhluk salam Kanda pada sang senja, dan akan kukirimkan kabarku pada sang fajar…
Selamat tinggal Kanda tersayang...”
Matahari hanya dapat meratapi kepergian sang Rembulan dengan mata yang berkaca-kaca.
Pupuslah harapan terbesar dalam hidupnya: bersanding abadi dengan ratu malam; harapan yang selama ini selalu terkembang dan merasuk dalam pikirannya.

Dipandanginya wajah langit.
Guratan merah sang fajar masih mengisyaratkan luka di hatinya.
Tetesan embun yang berjatuhan kian meluluhkan langkahnya.
Begitu banyak kata-kata Rembulan yang berdesingan dalam telinganya yang ia belum bisa mencerna maknanya.
Namun satu hal yang diingatnya dari kata-kata Rembulan tadi.
Ia hanyalah makhluk yang cepat lembek oleh guyuran air dan cepat mengeras kalau terbakar panas.
Padahal ia sendiri adalah sumber panas bagi semesta.
Sungguh sebuah anomali……
Dipandanginya wajah Bumi.
Tampak olehnya geliat sekarat setiap penghuninya yang telah lama menantikan kehadirannya. Mataharipun segera teringat akan tugas-tugasnya : memberi Bumi sedekah kasih, mengusap dedaunan dengan belai kehangatan, dan menyapa setiap penghuninya dengan seramah-ramahnya.
Seraya mengingatkan mereka agar bersyukur atas karunia-Nya.

Kini, untuk pertama kalinya, Ia merasa bangga dan ikhlas atas tugas yang diembankan kepadanya.
Seikhlas malaikat yang berjalan pada shaf-Nya; dan ia merasa salah satu diantaranya…..

Monday, March 29, 2010 at 5:21pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar